TUGAS SOFTSKILL
AKUNTANSI INTERNASIONAL
4EB23
Anggota Kelompok :
Anjar Arif W 20211936
Diana Tri W 29211322
Henry Jonathan P 27211981
Noer Laili N 28211438
Rian Ramadhan
Ruth Juan D 26211503
Sharfina Meiza N 26211727
BAB I
PENDAHULUAN
Perekonomian di dunia telah berkembang tanpa mengenal batas negara
karena pengaruh globalisasi. Setiap pemilik perusahaan multinasional saling
bersaing untuk menghasilkan produk yang bermanfaat dengan harga yang murah.
Semakin banyak orang yang mengkonsumsi barang tersebut, maka besar pula laba
yang akan dihasilkan oleh perusahaan. Ketika permintaan barang semakin tinggi
maka perusahaan harus membuka pabrik baru di tempat dimana permintaan barang
tersebut tinggi. Selain itu, perusahaan juga mendirikan anak perusahaan untuk
menunjang kegiatan produksi perusahaan induk.
Masalah yang dihadapi oleh perusahaan multinasional karena perkembangan
perekonomian di dunia ini yaitu perbedaan tarif pajak yang berlaku di setiap
negara. Persoalan pokok yang dihadapi perusahaan multinasional tersebut
sehubungan dengan investasi asing, salah satunya adalah transfer pricing. Transfer pricing didefenisikan sebagai
suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk
mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi
pembeli (buying divison). Tujuan utama dari transfer
pricing adalah mengevaluasi dan mengukur kinerja perusahaan, akan tetapi transfer
pricing sering digunakan oleh perusahaan multinasional untuk meminimalkan
jumlah pajak yang harus dibayar melalui rekayasa harga transfer antar divisi. Transfer
pricing menimbulkan banyak masalah, dan akan sulit menyelesaikan masalah
tersebut, antara lain menyangkut bea cukai, ketentuan anti dumping, dan
persaingan usaha tidak sehat.
Perusahaan dapat menghindari
pembebanan pajak berganda dengan transfer pricing, tetapi transfer
pricing juga terbuka untuk penyalahgunaan. Hal ini dapat digunakan untuk
mengalihkan keuntungan ke negara yang tarif pajaknya rendah, dengan
memaksimalkan beban, dan pada akhirnya pendapatan. Dua hal mendasar yang harus
diperhatikan otoritas fiskal agar koreksi pajak terhadap dugaan transfer
pricing mendapat justifikasi yang kuat, yaitu: afiliasi atau hubungan
istimewa, dan kewajaran.
Dalam setiap undang-undang perpajakan dapat dijumpai peraturan yang
mengatur perlakuan pajak terhadap transaksi antara pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa, sehingga peraturan tersebut dijadikan dasar hukum bagi
otoritas pajak untuk melakukan koreksi atas transaksi yang terjadi antar
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan dianggap sebagai aturan yang
dapat memecahkan masalah transfer pricing.
Tarif impor dan pajak berpengaruh
pada insentif untuk melakukan transaksi transfer pricing dan menemukan bahwa
harga transaksi pihak terkait berhubungan dengan tingkat pajak dan tarif impor
negara tujuan. Selain motivasi pajak, keputusan untuk melakukan transfer
pricing juga dipengaruhi oleh kepemilikan saham. Struktur kepemilikan di
Indonesia terkonsentrasi pada sedikit pemilik, sehingga terjadi konflik
keagenan antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Kepemilikan
saham di Indonesia cenderung terkonsentrasi menyebabkan munculnya pemegang
saham pengendali dan minoritas. Tunneling merupakan perilaku manajemen
atau pemegang saham mayoritas yang mentransfer aset dan profit perusahaan untuk
kepentingan mereka sendiri, namun biaya dibebankan kepada pemegang saham
minoritas. Tunneling dapat berupa transfer aset ke perusahaan induk yang
dilakukan melalui transaksi pihak terkait atau pembagian dividen. Tunneling
dapat mempengaruhi keputusan transfer pricing karena perusahaan dapat
meningkatkan keuntungan dengan dilakukannya tunneling tersebut.
Di negara berkembang seperti
Indonesia dan negara Asia lainnya, struktur kepemilikan terkonsentrasi yang
secara umum didominasi oleh keluarga pendiri, serta lemahnya perlindungan
terhadap pemegang saham minoritas menimbulkan konflik keagenan antara pemegang
saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Kepemilikan saham dikatakan
terkonsentrasi jika sebagian besar saham dimiliki oleh sebagian kecil individu
atau kelompok, sehingga pemegang saham tersebut memiliki jumlah saham yang
relatif dominan dibandingkan dengan lainnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 TRANSFER PRICING DALAM PRAKTEK PERPAJAKAN INTERNASIONAL
2.1.1. Definisi Transfer Pricing
Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah
divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini
mengakibatkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer
pricing didefenisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam
pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling
division) dan biaya divisi pembeli (buying divison). (Henry Simamora,
1999:272). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany
pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang
merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas
transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya
ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate product) yang
merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada
divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat
menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer
pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis
yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak
atau bea dari suatu negara.
Dari uraian di atas nampak bahwa pada prinsipnya praktik transfer
pricing (dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong
oleh alasan pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Berbagai
studi di luar Indonesia menunjukkan hal tersebut (Carson;1979, Vaitson;1974,
dalam Caves;1996). Motivasi pajak atas praktik transfer pricing dilaksanakan
dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak
terendah atau minimal. Salah satu bentuk pengalihan penghasilan, misalnya dalam
bentuk pembayaran royalti karena dengan sangat langkanya standar harga (tarif)
pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi pajak untuk mengatasinya.
Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa paling kurang 13% pembayaran royalti
dari negara bcrkcmhang (ke negara maju) merupakan transformasi royalti menjadi
dividen. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang (bahan) input produksi,
Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa berdasarkan studi tahun 1985 perusahaan
multinasional yang beroperasi di ASEAN memakai dasar selain harga pasar dalam
menghitung transfer pricenya. Semakin mudah tingkat otonomi anggota
perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi pemanfaatan strategi transfer
pricing. Semakin kurang menentu-nya lingkungan tempat operasi anggota
perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang penjualan
domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak terhadap transfer
pricing semakin ekstensif.
Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari
fenomena bisnis perusahaan besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi
usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan
mengimplementasikan konsep cpst-reveneu atau konsep corporate profit center.
Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang
dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta
motivasi pengelolaan unit-unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam
rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/tidaknya
pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi, merupakan
hal vang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara
keselturuhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer
pricing tersebut adalah:
1)
Pergeseran menuju desenhralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep cnrpu
ratc profit center.
2)
Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional.
3)
Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di
beberapa negara.
4)
Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit dalam
group perusahaan.
2.1.2. Tujuan Transfer Pricing
Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk
mentransmisikan data keuangan di antara departemen-departemen atau divisi-diisi
perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain
(Henry Simamora, 1999:273) Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang
digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi
penjual dan divisi pembeli menuju keputusan-keputusan yang serasi dengan tujuan
perusahaan secara keseluruhan. A transfer pricing system should satisfy
three objectives: acurate performance evaluation, goal congruence, and
preservation of divisional autonomy (Joshua Ronen and George McKinney,
1970:100-101).
Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer
pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan
diseluruh dunia Transfer pricing can effect overall corporate incame taxes.
This is particulary true for multinational corporations (Hansen and Mowen,
1996:496).
2.1.3. Tipe dan Metode Transfer Pricing
Beberapa metode transfer pricing yang sering digunakan oleh
perusahaan-perusahaan Multinasional dan divisionalisasi/departementasi dalam
melakukan aktifitas keuangannya adalah:
1. Harga Transfer Dasar Biaya (Cost-Based Transfer Pricing)
Perusahaan yang menggunakan metode
transfer atas dasar biaya menetapkan harga transfer atas biaya variabel dan
tetap yang bisa dalam 3 pemelihan bentuk yaitu : biaya penuh (full cost),
biaya penuh ditambah mark-up (full cost plus markup) dan gabungan antara
biaya variabel dan tetap (variable cost plus fixed fee).
2. Harga Transfer atas Dasar Harga Pasar (Market Basis
Transfer Pricing)
Apabila ada suatu pasar yang
sempurna, metode transfer pricing atas dasar harga pasar inilah merupakan
ukuran yang paling memadai karena sifatnya yang independen. Namun keterbatasan
informasi pasar yang terkadang menjadi kendala dalam mengunakan transfer
pricing yang berdasarkan harga pasar.
3. Harga Transfer Negosiasi (Negotiated Transfer Prices)
Dalam ketiadaan harga, beberapa
perusahaan memperkenankan divisi-divisi dalam perusahaan yang berkepentingan
dengan transfer pricing untuk menegosiasikan harga transfer yang diinginkan.
Harga transfer negosiasian mencerminkan prespektif kontrolabilitas yang inheren
dalam pusat-pusat pertanggungjawaban karena setiap divisi yang berkepentingan
tersebut pada akhirnya yang akan bertanggung jawab atas harga transfer yang
dinegosiasikan.
2.1.4. Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional
Menurut Zain
(2003:297-298), kebijakan transfer pricing multinasional bertujuan:
1)
Memaksimalkan penghasilan global
2)
Mengamankan posisi kompetitif anak/cabang perusahaan dan penetrasi pasar
3)
Evaluasi kenerja anak/cabang perusahaan manca negera
4)
Penghidaran pengendalian devisa
5)
Mengontrol kredibilitas asosiasi
6)
Meningkatkan bagian laba joint ventura
7)
Reduksi resiko moniter
8)
Mengamankan cash flow anak/cabang di luar negeri
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi untuk
memperjelas praktek transferpricing yang biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional. Perusahaan induk (parent company) yang terletak di Belgia
memproduksi suatu produk, dengan harga pokok Rp 100. Tarif pajak yang berlaku
di negara tersebut adalah 42%. Untuk menghindari pengenaan pajak dengan tarif
yang tinggi, perusahaan induk memutuskan untuk menjual produk tersebut ke anak
perusahaan yang ada di Puerto Rico dengan harga transfer yang sama dengan harga
pokok yaitu Rp 100, sehingga pajak yang terutang atas transaksi penjualan
antara perusahaan induk dan anak perusahaan adalah Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga transfer yang digunakan sama
dengan harga pokok produk, sehingga atas transaksi ini tidak menimbulkan laba
yang akan dikenakan pajak. Rekayasa atas harga transfer ini dibuat untuk
menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang berlaku di negara tempat
perusahaan induk berada. Kemudian barang yang sudah dibeli, dijual oleh anak
perusahaan di Puerto Rico ke anak perusahaan lain yang ada di Amerika dengan
harga transfer Rp 200. Tarif pajak yang berlaku di negara Puerto Rico adalah
0%. Transaksi penjualan ini menimbulkan laba sebesar Rp 200. Atas laba yang
timbul, seharusnya terutang pajak. Tetapi karena tarif pajak yang berlaku di
negara tersebut 0%, maka pajak yang terutang atas laba yang dihasilkan adalah
sebesar Rp 0. Kemudian barang yang sudah dibeli oleh anak perusahaan yang ada
di Amerika dijual kembali ke perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa
di negara yang sama, dengan harga jual Rp 200. Kebijaksanaan menetapkan harga
jual ini dimaksudkan untuk menghindari pajak dengan tarif yang tinggi yang
berlaku di negara yang bersangkutan. Asumsi tarif pajak yang berlaku di negara
Amerika 35%. Selanjutnya dapat dihitung bahwa pajak terutang atas transaksi
penjualan ini adalah sebesar Rp 0.
Hal ini disebabkan karena harga jual atas produk tersebut
sama dengan harga pokok pembelian barang, sehingga laba yang timbul atas
transaksi ini adalah Rp 0. Kesimpulan yang dapat ditarik dari
transaksi-transaksi di atas, adalah betapa pentingnya mengetahui tarif pajak
yang berlaku di suatu negara, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan
transaksi penjualan dan pembelian barang. Tabel di bawah ini akan memperjelas
ilustrasi di atas.
Tabel :
Praktik Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional
Perusahaan
Induk di Belgia
|
Anak
Perusahaan di Puerto Rico
|
Anak
Perusahaan di Amerika
|
|
Penjualan
Harga
Pokok Penjualan
Laba
Tarif
Pajak
Pajak
Terutang
|
$
100
$
100
$
0
42%
$
0
|
$
200
$
100
$
100
0%
$
0
|
$
200
$
200
$
0
0%
$
0
|
Masalah transfer pricing ini perlu mendapatkan
perhatian lebih lanjut dari Pemerintah setempat, karena terkadang anak
perusahaan yang didirikan dalam suatu negara, hanya bersifat sebagai transit
place atau tempat persingahan semata. Suatu survey yang dilakukan oleh
Ernst & Young LLp, 1999 menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan
masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang
terjadi pada perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena
itu banyak kantor akuntan publik melakukan auditcompliance, untuk
melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing ini yang memang
berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan. Gambar berikut ini
akan memperlihatkan persentase dilakukannya audit compliance pada
perusahaanperusahaan multinasional yang tersebar di berbagai negara besar di
dunia.
Biasanya cegah tangkal yang dilakukan oleh negara-negara
dengan adanya transfer pricing adalah membuat suatu kewenangan, dimana
pemerintah diberikan wewenang untuk menentukan kembali dengan cara
me-realokasikan kembali jumlah laba dan biaya-biaya yang timbul di perusahaan
multinasional yang notabene punya beberapa divisi, sehingga laba dan
biaya-biaya yang timbul sebagai hasil transaksi antar divisi tersebut yang
ditengarai sebagai suatu praktek transfer pricing yang bisa meminimalkan
pajak terutang dapat di cegah. U.S.- Based multinationals are subject to
Internal Revenue Code Section 482 on the pricing of intercompany transactions.
This section gives the IRS the authority to reaalocate income and deductions
among divisions if it believes that such reallocation will reduce potentiak tax
evasion. (Hansen and Mowen, 1996:543). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam
IRS, apabila terjadi transaksi antar divisi dalam perusahaan multinasional atau
terjadi transaksi dalam perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa, maka harga
yang berlaku adalah harga yang timbul apabila transaksi tersebut dilakukan
dengan pihak-pihak di luar perusahaan atau dengan kata lain, transaksi
dilakukan dengan pihak-pihak yang tidak punya hubungan istimewa. That is,
the transfer pricing set should match the price that would be set if the
transfer were being made by unrelated parties, adjusted for diffrences that
have a measurable effect on the price. (Hansen and Mowen, 1996:543).
2.2 Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian internasional di bidang
perpajakan antar kedua negara guna menghindari pemajakan ganda agar tidak
menghambat perekonomian kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan antar
kedua negara dan dilaksanakan oleh penduduk antar kedua negara yang terlibat
dalam perjanjian tersebut. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara
untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara
mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan
klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis
transaksi yang sedang dihadapi.
Payung
hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal 32A
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2.2.1. Tujuan Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda
Dari
isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan dengan negara
lain untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan utama yaitu
pertama menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double taxation)
dan yang kedua adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal
evasion). Di samping dua tujuan utama tersebut, terdapat pula tujuan lain
yang sebenarnya merupakan akibat bila dua tujuan utama di atas dicapai. Dalam
penjelasan Pasal 32A UU PPh juga ditegaskan bahwa perjanjian perpajakan yang
dilakukan pemerintah ini adalah dalam rangka peningkatan hubungan ekonomi dan
perdagangan dengan negara lain. Suatu perjanjian perpajakan atau tax treaty
bertujuan pula untuk mendorong arus modal, teknologi, dan keahlian ke suatu
negara. P3B juga akan memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak,
memperlancar transaksi ekonomi antar negara dan meningkatkan kerjasama antar
negara.
2.2.2. Menghindari Pajak
Berganda (Double Taxation)
Dalam
menerapkan ketentuan perpajakan, yurisdiksi perpajakan suatu negara akan
berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua
yurisdiksi perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda.
Pajak berganda ini timbul karena dua yurisdiksi perpajakan mengenakan pajak
kepada penghasilan yang sama yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama.
Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A mendapatkan
penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara A akan
mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya dari
manapun sumber penghasilan tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara B
juga mengenakan pajak terhadap penghasilan yang bersumber dari negaranya
walaupun penerimanya bukan warga negara atau bukan penduduk negara B. Nah dalam
kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh negara A dan negara B.
Pajak
berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi definisi sebagai
subjek pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi ini
maka orang atau badan ini akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh
penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal dengan istilah masalah dual
residence. Untuk memecahkan masalah akibat penerapan ketentuan perpajakan dua
negara, maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat persetujuan
penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang
hak pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu.
Dalam kasus dual residence, suatu P3B akan membuat ketentuan sedemikian
sehingga seseorang atau badan hanya akan menjadi residence (subjek pajak dalam
negeri) dari satu negara saja. Ketentuan ini biasa disebut Tie Breaker Rule
yang biasanya dimuat dalam Pasal 2 P3B.
Dalam
P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment dalam
kasus transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak
berganda. Corresponding adjutment mengandung makna bahwa jika satu
negara melakukan koreksi harga dalam suatu transaksi dengan lawan transaksi di
negara lain, maka negara lain juga harus melakukan koreksi sebaliknya agar
pengenaan pajak tidak berganda.
2.2.3. Mencegah Pengelakan
Pajak
Menghindari
pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tax evasion. Tax
avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan perpajakan.
Apabila penghindaran ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari pembuat
ketentuan, maka penghindaran ini tidak menjadi masalah. Namun demikian, jika
penghindaran ini dilakukan dengan ”mengakali” peraturan yang tidak sesuai
dengan maksud pembuat undang-undang maka jenis penghindaran ini perlu
dipermasalahkan.
Contoh
dari pengindaran pajak yang mengakali ketentuan ini misalnya dengan membuat
modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut bunga sehingga bisa
dibiayakan. Praktek menggunakan harga transfer (transfer pricing) dalam
transaksi internasional dengan menggeser laba ke negara dengan low tax rate
juga merupakan salah satu jenis penghindaran pajak seperti ini. Dalam kasus
lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat transaksi yang semu
walaupun legal form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk
mendapatkan manfaat dari suatu tax treaty dimana jika transaksi
dilakukan dengan cara yang seharusnya maka dia tidak akan mendapat manfaat dari
suatu tax treaty. Pendirian conduit company, paperbox company
atau special purpose company biasanya digunakan untuk mendapatkan
manfaat suaty tax treaty.
Penghindaran
pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran pajak dengan
melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau membebankan
biaya fiktif. Dengan demikian, tax evasion berdimensi illegal dan
kriminal. Untuk mencegah terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam
suatu transaksi internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat
ketentuan tentang pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan
untuk menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti
kasus treaty shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang
tidak semestinya), kasus transfer pricing ataupun kasus tindak pidana
perpajakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut kelompok kami dengan adanya transfer pricing bisa
menghemat dan meminimalkan beban pajak. Transaksi transfer pricing adalah
transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai istimewa, sehingga
harga yang terjadi tidak bersifat Arm’s length principle yang merupakan prinsip yang mengatur
bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang
menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama dengan atau berada
dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding. Imolementasi transfer pricing cenderung dilakukan oleh
perusahaan multinasional dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Implikasi pajak yang signifikan dari transaksi transfer
pricing adalah berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang
seharusnya diperoleh. Penghindaran pajak dalam bentuk tax
evasion bermakna penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan pajak
seperti tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya fiktif. Dengan
demikian, tax evasion berdimensi illegal dan kriminal. Untuk mencegah
terjadinya penghindaran dan pengelakan pajak dalam suatu transaksi
internasional, suatu perjanjian perpajakan biasanya memuat ketentuan tentang
pertukaran informasi. Informasi dari negara lain dapat digunakan untuk
menyelesaikan kasus-kasus penghindaran atau pengelakan pajak seperti kasus treaty
shopping (memanfaatkan ketentuan tax treaty yang tidak semestinya),
kasus transfer pricing ataupun kasus tindak pidana perpajakan.
Daftar pustaka